Pada saat tahun seniornya di sekolah menengah, Bob Mathias telah berkembang menjadi atlet lari yang berbakat. Dia bisa berlari cepat, melompat tinggi, dan melempar jauh. Mengingat bakatnya yang luas, pelatih di sekolah menengahnya menyarankan agar Mathias mencoba decathlon – kombinasi yang melelahkan dari 10 nomor trek dan lapangan.
Mathias segera berhasil, memenangkan kompetisi pertamanya. Hanya beberapa bulan kemudian, ia memenuhi syarat untuk bersaing di Olimpiade 1948 di London.
Benar-benar keluar dari radar menuju kompetisi, Mathias menyerbu Olimpiade. Dia menempati urutan pertama di empat dari sepuluh acara dan lari dengan medali emas. Baru berusia tujuh belas tahun dan baru lulus dari sekolah menengah, Mathias menjadi peraih medali emas termuda yang pernah memenangkan acara trek dan lapangan. Ketika berita kemenangannya sampai ke kampung halamannya di Tulare, California, pabrik lokal meniup peluit selama 45 menit berturut-turut. Dia telah memasuki Olimpiade sebagai anak yang tidak dikenal dan kembali ke Amerika sebagai pahlawan nasional.
Bagaimana remaja underdog mengembangkan kepercayaan diri yang dibutuhkan untuk memenangkan medali emas di panggung terbesar dunia? Pola pikir seperti apa yang dibawa Mathias ke kompetisinya? Dan apa yang dapat kita pelajari dari itu?
Seni Percaya Diri
Bertahun-tahun kemudian, setelah karir atletiknya sendiri selesai, Mathias melatih seorang pelompat galah muda yang berjuang untuk mencapai ketinggian baru di mistar gawang. Seperti ceritanya, atlet muda itu berulang kali gagal melewati mistar. Sadar akan performanya yang memburuk, atlet itu melihat ke arah bar dan dipenuhi rasa takut dan frustrasi. Dia mulai meragukan dirinya sendiri dan membeku sepenuhnya.
Setelah merenungkan situasinya sejenak, Mathias memandang pemuda itu dan hanya berkata, "Lemparkan hatimu ke atas mistar dan tubuhmu akan mengikuti."
Ruang Kosong
Ada momen di setiap lompat galah di mana atlet harus melepaskan tiang (satu-satunya jangkar mereka ke tanah dan satu-satunya hal yang mereka kendalikan) dan berkomitmen untuk melayang melalui ruang kosong tanpa sepenuhnya mengetahui apakah mereka akan melewati mistar gawang.
Dalam pengalaman saya, hidup sangat mirip. Jika kamu mau,kamu dapat berpegang pada apa yang sudah kamu ketahui dan tetap berada di tempatmu sekarang. Namun, jika kamu ingin naik ke tingkat yang lebih tinggi dan mencari tahu di mana tepatnya langit-langitmu berada, maka kamu perlu melempar hatimu ke atas mistar dan melangkah menuju ruang kosong seperti para atlit lompat galah.
Cuma masalahnya: kita sering berpikir bahwa ruang kosong hanyalah panggung yang harus dilewati. Kita pikir ini adalah keadaan transisi, momen ketidakpastian dalam perjalanan menuju sesuatu yang lain. Tapi sebenarnya lebih dari itu. Ruang kosong adalah tempat kita tumbuh. Ruang kosong adalah tempat kita mengembangkan kepercayaan diri. Ruang kosong adalah tempat kita mengungkapkan siapa diri kita sebenarnya. Dalam banyak hal, ruang kosong adalah tempat kita menjadi hidup.
Melewati momen ketidakpastian. Menghadapi periode keraguan. Saat itulah kita menemukan diri kita sendiri.
Dalam banyak hal, kepercayaan diri hanya bertahan melalui ruang kosong. Kepercayaan diri adalah grit. Kepercayaan diri adalah Sisu. Percaya diri adalah ketangguhan mental. Sebagian besar, kepercayaan diri hanyalah kesediaan untuk melepaskan apa yang nyaman, meluncur ke udara yang tidak pasti, dan percaya bahwa kamu akan baik-baik saja.
"Lemparkan hatimu ke atas mistar dan tubuhmu akan mengikuti."
Tidak ingin ketinggalan artikel terbaru InsanTerbaik.com? Jadilah yang pertama membaca artikel yang baru terbit dengan berlangganan GRATIS di sini:
Comments
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.